(Calon) PNS dan Budaya Baru Digital



 

Gaji dan tunjang yang dibayarkan setiap bulan, serta berbagai cerita kemudahan hidup dari mulut ke mulut, membuat eksistensi seorang pegawai negeri sipil semakin menjadi-jadi. Terlebih, di tengah pandemi, disinyalir bahwa satu-satunya pekerjaan yang tidak goyang hanya PNS. Bahkan di era digital seperti saat ini, menambah harum nama pekerjaan ini. Ya, wajar pada zaman serba kemudahan akses dan keterbukaan informasi, sehingga berduyun-duyun manusia Nusantara mencoba peruntungannya.

Era digital membawa sebuah perubahan besar pada tatanan kehidupan manusia, termasuk pada cara kerja seorang pegawai negeri; mau tidak mau, suka tidak suka, mereka dituntut untuk berbaur dengan teknologi. Bahkan, dalam perekrutan seorang pegawai negeri, digitalisasi dinilai paling afdol untuk merekrut. Walaupun tidak seluruhnya bisa dilakukan secara digital, hingga menimbulkan berbagai kritik terkait prosedur yang dinilai rumit dan berbelit.

Namun, siang itu saya dibuat terkejut dengan cerita salah satu seorang teman. Saat jam istirahat kantor, saya menemukan pemahaman baru, dari obrolan menarik. “Gimana, nyonya lolos, Bro?” tanya seorang teman kepada rekan sejawatnya, yang istrinya sedang mencoba mengadu nasib di antara ribuan pelamar Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). “Alhamdulillah lolos, Lik,” jawab teman saya; rona wajah sumringah menghiasi teman saya.

“Tapi sekarang lagi masa sanggah kan, Mas?” tanya saya, akibat melihat beberapa berita yang berseliweran, perihal prosedur perekrutan yang dinilai oleh beberapa orang masih terlalu kaku. “Wah, iya perihal masa sanggah ini, kadang ya mereka itu kebangetan,” jawab teman saya, sambil menggeleng-gelengkan kepala, tanda bahwa ia merasa heran.

“Kok bisa, Mas bukannya itu hak mereka?” pertanyaan ini saya lontarkan, lantaran banyak manusia Nusantara yang menginginkan menjadi abdi negara, dengan berbagai macam latar belakang, tapi terkendala dengan syarat administrasi. “Bukan masalah haknya, Bro,” sergah teman saya. “Lha, mereka ini juga agak kebangetan, satu materai kok untuk beberapa berkas yang akan mereka unggah di situs.”

Saya heran dengan temuan teman saya; bukankah setiap materai itu memiliki nomor seri yang berbeda? Ya, jelas ketahuannya! “Sampean tahu dari mana, Mas?” tanya saya yang heran dengan temuan itu. “Gini,” buka teman saya, sambil menarik kursi yang berada di sebelahnya. “Saat saya mencetak tugas di fotokopian kemarin, tanpa sengaja mendengarkan obrolan para pemuda dan pemudi yang sedang menyiapkan berkas lamaran.”

Saya dan beberapa teman dengan khusyuk menyimak ceritanya.

“Mereka ini bisanya satu materai untuk beberapa berkas,” seolah kegalauan teman saya tadi keluar semua, bibit kecurangan yang ia lihat sedari dini, membuat jiwanya tersayat hebat sepertinya. Hal-hal remeh temeh seperti itu saja, berani mereka lakukan.

Mendengarkan temuan seperti itu, saya berharap mereka tidak lolos dan mendapatkan pemahaman baru; pijakan awal mereka cukup menyeramkan. Entah disadari atau tidak, seolah mereka sedang menggali lubang yang dalam, lalu melompat ke dalamnya, dengan ilusi bahwa segala keindahan yang digaungkan melalui dongeng kesejahteraan pegawai negeri dapat mereka raih dengan cara curang seperti itu.

Padahal ada banyak manusia di luar sana yang baru melihat kriteria pendaftar saja sudah minder. Lha ini yang sudah diberikan setitik keberuntungan malah merusaknya dengan tindakan yang konyol. Kadang hal semacam ini kerap terjadi di tengah budaya kita. Parahnya, anggapan hal semacam itu ditutupi dengan pembenaran sebagai tindakan kreatif; sungguh kesalahan fatal yang akhirnya membawa kesengsaraan bagi dirinya dan orang lain.

Moral Era Digital

Setiap zaman memiliki generasinya sendiri, begitu kata mutiara yang acap saya dengar akhir-akhir ini. Tapi, perihal moral para pelakunya, selalu menjadi sorotan oleh pelaku zaman sebelumnya. Seharusnya semakin berkembanganya zaman, tidak akan mempengaruhi penurunan moral yang signifikan.

Generasi sebelumnya mungkin akan kesusahan dalam menembus benteng seleksi pegawai negeri. Stigma tentang kekuatan orang dalam, serta carut marutnya ketidaktransparanan sistem perekrutan menjadi momok bagi sebagian orang.

Namun, zaman sudah berubah. Para ahli menyebut, peradaban hari ini sebagai four point zero (4.0), yang ditandai dengan digitalisasi seluruh aktivitas kehidupan manusia. Bahkan dua tahun ini kita seperti dipaksa untuk berjabatan erat dengan teknologi. Generasi pemuda dan pemudi yang masih kinyis-kinyis, tentu lebih mahir menggunakan teknologi. Para ahli menyebutnya sebagai generasi Y dan Z. Mereka lahir di tengah peradaban penuh kemudahan. Segalanya bisa diakses dengan mudah, cepat, dan tentu saja praktis.

Rhenald Kasali menyebutnya sebagai strawberry generation. Generasi yang menawan, namun mudah rapuh. Jelas dibandingkan dengan generasi sebelumnya, mereka lebih kreatif khususnya dalam bidang digital. Tidak bisa dipungkiri lagi, mereka lebih akrab mengetik daripada menulis, lebih senang bermain melalui gadgetnya ketimbang bermain bersama kawannya.

Bahkan, saya sendiri pada saat proses perekrutan merasakan suatu kesulitan yang luar biasa saat diminta menuliskan surat lamaran pada selembar kertas folio bergaris, tanpa noda. Sungguh, hal tersebut hampir membuat saya menyerah. Kegiatan yang sifatnya manual dan cenderung tradisional kerap menimbulkan permasalahan pada generasi sekarang. Di lain sisi, ada satu proses yang menimbulkan kesan perjuangan, bahwa semuanya tidak bisa didapatkan dengan begitu saja.

Alih-alih mengubah semua sistem perekrutan agar lebih terlihat mudah. Lha, produk budaya kita, dalam jiwa para pemuda dan pemudi generasi sekarang saja belum siap menerima. Dalam dekapan zaman yang serba mudah dan praktis dijadikan satu-satunya pedoman meraih buah manis. Apapun caranya, termasuk cara yang dipakai oleh para pemuda dan pemudi tadi.

Masih ada hal yang perlu kita perjuangkan bersama untuk mewujudkan digitalisasi pada semua aspek kehidupan. Kemerdekaan digital masih jauh. Ibarat peribahasa, jauh api dari panggang. Maka dari itu, sistem perekrutan pegawai yang acap dicibir karena masih menggunakan cara-cara manual dan cenderung ketinggalan zaman sepertinya belum saatnya diubah. Ia justru sedang mendidik para generasi strawberi ini agar lebih kuat. Karena tanpa disadari cara seperti itu menuntut setiap manusia untuk lebih berusaha sekuat tenaga meraih keinginannya.

Selain itu negara juga bukan hanya mendapatkan orang yang tepat di tempat yang tepat, namun juga memiliki ketangguhan, serta menjunjung tinggi moral dalam bekerja nantinya. Ini adalah jalan panjang dan berliku. Kita sudah memulainya, entah terpaksa atau karena kesadaran. Namun, jalan masih panjang untuk meraih kemerdekaan digital dalam budaya kita. Perjuangan panjang pada semua sendi kehidupan perlu digelorakan agar menjadi budaya baru digital yang penuh tanggung jawab.

 

 

news.detik.com/kolom/d-5713107/

calon-pns-dan-budaya-baru-digital

Berita Terkait

Top